Jakarta - Bapak arkeologi Indonesia
yang juga Guru Besar UI Profesor Mundardjito tak habis pikir akan kabar
yang ditiupkan soal piramida Gunung Padang di Cianjur. Menurutnya, isu
itu malah merusak situs Gunung Padang. Ribuan orang datang berbondong
dan berbuat tanpa kontrol di situs purbakala itu.
"Akibat isu piramida, semakin banyak pengunjung yang datang, semakin rusak. Manusia pakai sepatu menginjak-injak bebatuan, menggores dengan kunci mengukir nama. Ini akumulasi yang harus ditangani dengan serius," kata Mundardjito saat berbincang dengan detikcom, Rabu (19/12/2012).
Mundardjito sedih, situs yang diperkirakan berusia 2.000 tahun itu malah kini tenar dengan isu piramida. Bukan pada sejarah keberadaan situs megalitik peninggalan nenek moyang itu. Mundardjito yang terlibat dalam restorasi Borobudur dan Prambanan ini sendiri tak yakni kalau Gunung Padang itu sebuah piramida.
"Kalau kita lihat, Gunung Padang itu unik, megah, dan monumental. Lokasi yang bagus, sebuah bukit yang dikelilingi bukit yang lain dan juga sungai. Rasanya ini memang menarik masyarakat. Kita juga bisa melihat kemampuan nenek moyang kita merancang dan menyiapkan batuan di atas bukit, sebelum kita dipengaruhi kebudayaan India," terang Mundardjito yang kini berusia 76 tahun ini.
Arkeolog senior Indonesia yang pernah ikut eskavasi di Yunani ini menjelaskan, yang utama dalam sebuah situs adalah perlindungan. Kondisi Gunung Padang amat memprihatinkan. Hanya kabarnya saja yang disebarkan ada piramida tapi tak ada konservasi akan situs itu.
"Sekarang susunan batu di sana, banyak yang diatur manusia. Susunannya palsu, diatur-atur. Kondisi situs Gunung Padang juga belum ditangani kompehensif, batu-batu berserakan, miring, roboh. Erupsi tanah saat hujan juga terus terjadi. Kita tidak ingin ini terus terjadi," terangnya.
Mundardjito menuturkan, keaslian bentuk harus dijaga. Apalagi situs itu merupakan bagian cagar budaya. Tentu perlindungan maksimal harus diupayakan. Janganlah hanya mencari sesuatu yang di luar perkiraan seperti piramida dengan merusak situs itu.
Dia juga mengusulkan membagi Gunung Padang dalam tiga zona. Zona inti yang harus diproteksi, benar-benar daerah 'haram' dari bangunan. Zona dua, menjadi penjaga zona inti, dan kemudian zoan tiga atau zona pengembangan yang bisa dipakai penduduk setempat untuk memberikan jasa kepada wisatawan.
"Heritage for all. Perlindungan hukum dibuat dengan SK Cagar Budaya oleh bupati, dan harus ada zona di kawasan itu. Cagar budaya itu tak ternilai. Selamatkan Gunung Padang," tegasnya.
"Akibat isu piramida, semakin banyak pengunjung yang datang, semakin rusak. Manusia pakai sepatu menginjak-injak bebatuan, menggores dengan kunci mengukir nama. Ini akumulasi yang harus ditangani dengan serius," kata Mundardjito saat berbincang dengan detikcom, Rabu (19/12/2012).
Mundardjito sedih, situs yang diperkirakan berusia 2.000 tahun itu malah kini tenar dengan isu piramida. Bukan pada sejarah keberadaan situs megalitik peninggalan nenek moyang itu. Mundardjito yang terlibat dalam restorasi Borobudur dan Prambanan ini sendiri tak yakni kalau Gunung Padang itu sebuah piramida.
"Kalau kita lihat, Gunung Padang itu unik, megah, dan monumental. Lokasi yang bagus, sebuah bukit yang dikelilingi bukit yang lain dan juga sungai. Rasanya ini memang menarik masyarakat. Kita juga bisa melihat kemampuan nenek moyang kita merancang dan menyiapkan batuan di atas bukit, sebelum kita dipengaruhi kebudayaan India," terang Mundardjito yang kini berusia 76 tahun ini.
Arkeolog senior Indonesia yang pernah ikut eskavasi di Yunani ini menjelaskan, yang utama dalam sebuah situs adalah perlindungan. Kondisi Gunung Padang amat memprihatinkan. Hanya kabarnya saja yang disebarkan ada piramida tapi tak ada konservasi akan situs itu.
"Sekarang susunan batu di sana, banyak yang diatur manusia. Susunannya palsu, diatur-atur. Kondisi situs Gunung Padang juga belum ditangani kompehensif, batu-batu berserakan, miring, roboh. Erupsi tanah saat hujan juga terus terjadi. Kita tidak ingin ini terus terjadi," terangnya.
Mundardjito menuturkan, keaslian bentuk harus dijaga. Apalagi situs itu merupakan bagian cagar budaya. Tentu perlindungan maksimal harus diupayakan. Janganlah hanya mencari sesuatu yang di luar perkiraan seperti piramida dengan merusak situs itu.
Dia juga mengusulkan membagi Gunung Padang dalam tiga zona. Zona inti yang harus diproteksi, benar-benar daerah 'haram' dari bangunan. Zona dua, menjadi penjaga zona inti, dan kemudian zoan tiga atau zona pengembangan yang bisa dipakai penduduk setempat untuk memberikan jasa kepada wisatawan.
"Heritage for all. Perlindungan hukum dibuat dengan SK Cagar Budaya oleh bupati, dan harus ada zona di kawasan itu. Cagar budaya itu tak ternilai. Selamatkan Gunung Padang," tegasnya.
0 komentar:
Posting Komentar